Monday, December 3, 2018

Suka Duka Jadi Anak Rantau yang Jauh Dari Orang Tua

Merantau.....
Why Not!


''Everyday is Holiday in Bali''. Mungkin itu adalah salah satu kalimat yang sering orang ucapkan kalau ditanya tentang Bali.
Pulau Bali atau biasa di sebut Pulau Dewata, merupaka salah satu tujuan tamu mancanegara mau pun tamu domestik untuk menghabiskan waktu liburan mereka.
Kalau aku bahas tentang Pulau Bali dan segala keindahannya mungkin bisa sampai tahun depan 😁karena gak bakal ada habis-habisnya.

Tanggal 27 Mei 2010.
Itu adalah tanggal dimana aku meninggalkan Surabaya (kota di mana aku di lahirkan, tumbuh dan besar) menuju Bali.
Ini kali pertama aku tinggal jauh dari orang tua, dan ditambah lagi di Pulau Bali aku gak ada sanak family sama sekali. I will be a single fighter 💪

Kalau kamu anak rantau, hal-hal yang pernah aku alami ini mungkin pernah juga kamu alami.

1. Kamu akan menjadi orang yang mandiri.
Jauh dari orang tua otomatis memaksa aku mau tidak mau harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Mulai dari masak, cuci piring, cuci baju, sampe membersihkan toilet yang mungkin kegiatan itu jarang atau tidak pernah aku lakukan saat tinggal bareng orang tua.


2. Kamu juga menjadi mudah beradaptasi.
Dulu waktu masih tinggal bersama orang tua, aku terbilang orang yang malas bergaul. Saking parahnya, nama tetangga samping rumah aja aku gak tau. It's a pity 😜
Pada saat merantau, perlu skill yang cukup tinggi untuk aku bisa masuk ke sebuah lingkungan baru. Aku mengisi waktu luang ku dengan ikut tetangga kos ku untuk hangout dan berkenalan dengan beberapa teman baru.


3. Kamu memiliki kemampuan manajemen diri yang baik.
Jauh dari orang tua tentu jadi tantangan tersendiri buat para perantau. Terutama soal keuangan. Aku mulai belajar me-manage keuangan. Gimana caranya gaji sebulan bisa untuk meng-cover kebutuhan sehari-hari (untuk bayar kosan, untuk biaya makan, beli keperluan mandi, sampe untuk biaya nongkrong bareng temen-temen). Walaupun ada kalanya kepepet dan mulai ngutang 💰

4. Mendadak melankolis pada saat sakit.
Saat-saat yang paling tidak enak adalah saat sakit di tanah rantau, dalam hati 'Ma, mau pulang...' 😢
Tapi kalau di telephone orang tua pura-pura strong 😁
Anak perantauan pasti sudah tau rasanya. 

5. Kangen kampung halaman.
Karena aku dulu kerjanya di perhotelan, jadi pada waktu hari-hari libur nasional  ya tetep terja. Di situ rasanya iri sama temen-temen yang tinggal bareng orang tua, yang bisa liburan bareng keluarga. Ditambah lagi kalau denger lagu Home-nya Michael Buble. Karena lyrics lagunya buat aku homesick.
''Let me go home. I'm just too far from where you are. I want to come home'' 😭
Satu-persatu kenangan bareng teman dan keluarga mendadak muncul.

Tidak ada salahnya merantau, karena kalian bisa mencoba hal baru. Keluar dari comfort zone dan nikmati pahit, manis, getir, serunya merantaau.
Karena itu bisa jadi cerita atau episode terindah dalam hidup, dan mungkin hal itu tidak akan terulang kembali dan nantinya akan selalu kalian rindukan.

Berbanggalah kalian yang di beri kesempatan untuk merantau itu artinya orang tua kalian menaruh kepercayaan pada diri kalian dan tidak banyak orang yang dapat merasakan hal tersebut.

IN MEMORY OF MY FRIEND

IN MEMORY OF MY FRIEND
Pengalaman ku yang sempat merawat ODHA 
(Orang Dengan HIV/AIDS)

Beberapa waktu lalu booming film tentang band legendaris asal Inggris, yup the one and only band itu bernama adalah Queen. Band rock tersebut di bentuk pada tahun 1970 di London. Film Bohemian Rhapsody adalah film biografi tentang band tersebut dan sedikit menceritakan tentang kehidupan sang vocalis Freddie Mercury yang menderita HIV/AIDS.
But sorry, disini aku enggak mengupas tuntas tentang film tersebut 😄


Kali ini aku akan cerita tentang pengalaman ku yang sempat merawat ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Tujuan aku cerita ini, pengen nunjukin ke temen-temen semua kalau ODHA sama seperti manusia biasa. Tidak ada yang berbeda dari bereka.

Sebagian besar masyarakat kita masih sangat takut dengan orang yang berstatus HIV/AIDS positive, dan sejujur-jujurnya, aku juga merasa begitu. Menurut aku, penyebab utamanya adalah kurangnya sex education. Bahkan sampe sekarang pun, masyarakat kita masih susah untuk memisahkan antara ''pendidikan sex'' dan ''porno''.
Stigma, resiko diskriminasi, hinaan sampai rasa takut kehilangan pekerjaan adalah beberapa faktor yang mempersulit ODHA terbuka soal status mereka.
Dari tahun 2012 - 2018, aku kenal dengan 6 orang yang terkena penyakit yang seharusnya tidak mematikan, jika daya tahan tubuh mereka kuat. Usia mereka berkisar 7-38 tahun. Mereka positive HIV/AIDS. 4 orang dari mereka sudah pulang ke rumah Tuhan, salah satunya adalah sahabat aku dan 2 orang lagi masih berjuang untuk tetap sehat.
Aku inget waktu dulu pertama kali sahabat ku declare tentang ''statusnya''. Waktu kita lagi ngobro-ngobrol santai. 
''Nyet, menurut mu masalah hidup apa yang bakal menakutkan?'' Spontan aku jawab ''kalau orang tua aku cerai''. Dia cuma ketawa denger jawaban aku. His mom was recently passed away at that time, I told my biggest fear was a separation of my parents.
Lalu dia cerita seluruhnya, mulai dari gelaja benjol-benjol yang sering dia alami, dan gimana dia tau status nya kalau positive.
To be honest, aku shock waktu itu. Ngebayangin nyawa sahabat aku yang dalam kondisi kritis. And yet he casually told all these with laughter and joke. Gak ada sedih dari raut mukanya, not even a question like ''do you still wanna be friends with me?" or ''what I should do next?''. Justru aku yang balik tanya ke dia, '' what can I do for you?'', simply because I don't know the social protocol to deal with this HIV/AIDS.
He treated this whole situation like a 4th grade kid that got cookies from rotten cheese in backyard. And he gave me the HIV/AIDS 101 class. It was like a fire drilling. Aku di jelasin mulai dari '' kalau nyentuh antar kulit ya gak akan nular Nyet'' dan sampe nama latin penyakit dan jadwal dia minum obat.
The first months was pretty intense because I kept asking him that ''have you take your meds?''. Pernah suatu hari aku nganter dia ke salah satu rumah sakit di daerah Diponegoro, Denpasar-Bali, karena kondisi badan nya yang makin kurus. Aku menyiapkan semua bajunya just in case kalau dokter nyuruh rawat inap. Tapi ternyata dokter cuma ngasi beberapa obat untuk di minum.
Aku cukup overthinking dengan situasi ini, diperparah dengan pertanyaan-pertanyaan dari beberapa orang seperti ''kok temen kamu jadi kurusan ya?'' dan ''kok kulit dia iteman ya?''
This is a very sensitive issue dan rasanya aku pengen ngomong ke mereka''woiii dia tuh lagi sakit! Please be gentle to him, would you?!''
I think that's the only storm that he faced at that time, selebihnya he acted normal. Dia tetep menjalani aktivitas nya layaknya orang normal. Kerja seperti biasa. He did not use his obstacles as his excuse or pity card to get any kind of situation. He is brave. He is way braver than me.
Sempat dia mencoba minum ramuan tradisional tapi yang ada dia malah muntah darah beberapa kali. Akhirnya tengah malam aku meminta bantuan beberapa teman untuk membawa dia ke salah satu clinic swasta di daerah Teuku Umar Barat-Bali. Jantung ku deg-degan. Takut denger berita buruk. And did you know saat dia keluar dari ruangan dokter as always his acted like there's nothing happen.
Beberapa bulan kemudian, kondisi kesehatan nya terlihat cukup stabil. Aku menyarankan dia untuk cuti dari tempat kerjanya dan pulang ke Jawa. Dengan alasan kalau di Jawa, he has family to take care of him.
Dengan naik sepeda motor aku mengantar dia ke airport Ngurah Rai. Sampai di airport aku menyuruh dia untuk duduk di wheel chair. Aku dorong sampai di pintu masuk dan itu adalah kali terakhir aku ketemu dia.

Long story short. 3 bulan kemudian, tepatnya 1 Januari 2015 pukul 8.00 wita. Aku dapat kabar dari kakak kandungnya kalau dia meninggal dunia semalam. I can't say anything at that time. I was crying.


"Take care of your body, it's the only place you have to live"


EYE CONTACT

Kontak mata ( eye contact ) adalah situasai dimana dua orang saling melihat langsung kemata satu sama lain. Menurut aku kontak mata merupak...